Minggu, 19 Oktober 2025

PELUKAN TAK TERLIHAT

 Ada masa-masa di mana dunia terasa begitu berat,

seakan setiap langkah harus dipaksakan. Aku pernah merasa seperti itu — lelah, hampa, dan bingung apakah aku masih sanggup melanjutkan hidup yang terasa terlalu panjang untuk dijalani sendirian.

Malam sering menjadi saksi saat aku menangis diam-diam. Di tengah isak itu, aku kadang bertanya, 

“Tuhan, sampai kapan aku harus kuat? Apakah aku benar-benar sendiri?”

Namun entah bagaimana, di antara sesak itu selalu muncul sesuatu yang halus, seperti bisikan di hati yang tak bisa dijelaskan. Bunyinya sederhana:


“Lakukan yang terbaik. Tetap berpegang pada-Ku. Kamu pasti bisa.”


Kalimat itu datang tanpa suara, tapi terasa nyata, seperti tangan yang tak terlihat sedang menggenggamku pelan. Aku tidak tahu apakah itu jawaban dari Tuhan, atau suaraku sendiri yang berusaha bertahan. Tapi rasanya hangat, dan untuk pertama kalinya aku kembali bisa bernapas.

Aku masih menangis, tapi tangisnya berbeda. Ada ketenangan di dalamnya.

Karena jauh di lubuk hati, aku tahu satu hal: aku tidak sendiri.

Ada kasih yang tetap menjagaku — tidak selalu terlihat, tapi selalu ada.


HAI SONYA

Aku bukan orang yang suka berbicara berputar-putar.

Aku percaya kejujuran adalah bentuk tertinggi dari rasa hormat.

Setiap kalimat yang keluar dariku hampir selalu punya niat baik di belakangnya —

kadang ingin meringankan beban orang lain, kadang ingin menjaga agar tak ada yang salah langkah.


Namun dunia tak selalu mendengar dari niat.

Banyak yang menangkap dari bunyi kata, bukan dari maknanya.

Dan di situlah sering aku berdiri: antara keinginan untuk dipahami dan kebutuhan untuk diam

Aku berbicara dengan logika yang lahir dari empati.

Aku menjelaskan karena aku peduli, bukan karena ingin membela diri.

Aku memilih kata-kata yang jelas, karena bagiku kejelasan adalah bentuk kasih.


Tapi terkadang, kejujuranku terdengar dingin di telinga yang mudah tersinggung.

Terkadang, kehati-hatianku tampak seperti jarak di mata yang haus kehangatan.

Maka aku belajar: bukan semua orang siap mendengar kebenaran dengan nada tenang.

Seringkali aku disalah pahami bahkan sering oleh orang terdekatku, contoh alm.ibuku. Ketika itu akan mencoba menjelaskan —

bukan untuk menang, tapi agar niatku tak hilang arah.

Namun bila penjelasan pun hanya memunculkan tembok,

aku tahu kapan harus berhenti.

Aku diam bukan karena menyerah.

Aku diam karena aku mencintai kedamaian lebih dari pembuktian.

Dan dalam diam itu, aku menyusun ulang hatiku,

agar tidak mengeras oleh rasa kecewa.


Terkadang...

Aku ingin ada satu orang saja

yang mampu membaca maksudku tanpa banyak kata —

yang mendengar dari ketulusan, bukan dari nada.

Aku ingin bisa berbicara dengan orang yang tidak buru-buru menilai,

yang bisa duduk bersamaku dalam jeda,

dan tahu: kadang diamku juga adalah bentuk kasih.

Tapi ya itu harapan... 

Jika mungkin suatu hari anak-anakku pun akan salah paham pada maksudku.

Mungkin mereka akan menilai tindakanku tanpa sempat tahu isi niatnya.

Aku hanya berharap semoga mereka selalu merasakan satu hal yang pasti:

bahwa semua yang kulakukan berasal dari cinta.


Aku tak butuh mereka memahami setiap kalimatku.

Cukuplah mereka merasa aman di bawah cintaku.


Dan inilah Pengingat untuk Diriku :


Tidak semua orang akan memahami,

tapi aku masih bisa mencintai mereka dengan cara yang bisa mereka pahami.

Kejujuranku bukan kelemahan.

Ketenanganku bukan jarak.

Dan diamku bukan kekosongan —

ia adalah bentuk kebijaksanaan yang lahir dari luka yang pernah disalahpahami.